Pembebasan WNI Hukuman Mati di Arab Saudi - Dua tenaga kerja Indonesia, Sumartini dan Warnah, yang telah kembali ke Indonesia setelah bebas dari hukuman mati di Riyadh, Arab Saudi, merupakan bagian dari sembilan TKI yang dibebaskan dalam tiga tahun terakhir.Agen Bola Sbobet
Duta besar Indonesia untuk Saudi, Agus Maftuh Abegebriel, mengatakan proses dibebaskannya dari hukuman mati kedua tenaga kerja Indonesia ini serta tujuh lainnya dilakukan melalui surat menyurat diplomatik serta apa yang ia sebut "pendekatan persahabatan" yang dilakukan pada malam hari di kandang kambing di gurun pasir.
Untuk kasus Sumartini dan Warnah keduanya bebas setelah banding dan hukuman mati diubah menjadi hukuman penjara delapan hingga sembilan tahun.
Keduanya berurusan dengan hukum setelah keluarga majikan tempat mereka bekerja mengklaim keduanya menggunakan ilmu hitam atau sihir, yang membuat "anak majikan hilang dan istri majikan sakit misterius".
Sang anak kemudian ditemukan dalam keadaan hidup, namun dalam persidangan pada pada awal Januari 2009, keduanya divonis hukuman mati oleh Pengadilan Pidana Riyadh.
Ini keberhasilan ya, mengubah hukuman mati menjadi hukuman penjara karena kita bisa menyelamatkan dua nyawa," kata Agus kepada wartawan BBC News Indonesia, Mohamad Susilo, hari Kamis (25/04).
"Kami berkomunikasi dengan pengacara-pengacara Saudi bahwa dakwaan (soal sihir) sumir ... kami bantah bahwa itu tidak rasional," kata Agus.Agen Casino 338
Ia mengatakan sebelum menjadi dubes ia mengajar di fakultas syariah dan sering membahas hukum pidana Islam. Latar belakang ini sangat membantu ketika ikut menangani kasus-kasus yang menimpa warga Indonesia di Saudi.
Setelah menjalani hukuman, Sumartini dan Warnah pulang dan tiba di Jakarta, hari Rabu (24/04).
Selama menjabat menjadi dubes, Agus mengatakan sudah sembilan warga Indonesia yang bebas dari hukuman mati di Saudi.
Bertemu di kandang kambing
Agus mengungkapkan keberhasilan ini tak lepas dari upaya resmi dengan mengirim surat dan nota ke Kementerian Luar Negeri Saudi hingga mengambil langkah-langkah yang ia sebut sebagai pendekatan antropologis, sehingga keluarga yang memperkarakan, suku, atau kabilah mereka bersedia memaafkan atau menerima uang diyat (denda).Agen judi online terpercaya
"Pernah pukul 01.00 malam, bersama atase hukum, saya lakukan pendekatan ke salah satu suku. Kami bertemu di kandang kambing malam-malam di tengah gurun. Kami tak bisa bicara secara langsung soal kasus sebelum mereka tersenyum dan tertawa," ungkap Agus.
"Mereka biasanya tersentuh ketika kami cerita tentang Saudi, tentang syair-syair klasik. Saya katakan Indonesia dan Saudi bersahabat jauh sebelum negara Indonesia dan kerajaan Saudi resmi didirikan. Saya katakan ada orang Indonesia yang menjadi imam besar di Masjidil Haram, ada yang jadi ulama besar ketika Saudi belum didirikan," katanya.
"Saya katakan, saya sebeagai orang tua mereka (warga Indonesia yang diadili) saya meminta maaf atas kesalahan mereka. Kita harus bisa mengambil hati orang Saudi dengan dialog-dialog tentang puisi, tentang syair Arab klasik. Dialog ini membuat kami menyatu di titik yang sama. Setelah itu, baru kami lakukan lobi-lobi. Alhamdulillah, ada satu keluarga yang memaafkan tanpa meminta uang denda," kata Agus.
Upaya-upaya seperti ini ia sebut sebagai keajaiban dan takdir diplomasi sehingga perundingan yang tadinya dianggap mustahil bisa berakhir sukses.
0 comments:
Posting Komentar