Komisi Kontras Khawatir Hukuman Mati Jadi Alat Politik - Salah Satu Hal Yang Selalu di Soroti Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) adalah Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia.Karena Menurut Mereka,Hukuman Mati Hanya Merengut Hak Hidup Seseorang
Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik Kontras Putri Kanesia menyebutkan, saat ini menjelang pelaksaan Pemilu, jangan sampai pelaksanaan hukuman mati digunakan sebagai alat politik.
“Karena menjelang pelaksanaan pilpres atau pilkada semua bahan bisa digunakan sebagai bahan pengalihan isu dan lainnya. Apalagi ketika Jaksa Agung terakhir saya dapat informasi meminta anggaran dari DPR untuk pelaksanaan eksekusi mati karena mereka, kejaksaan, akan melakukan eksekusi setiap tahunnya,” tutur Putri dia di kantornya, Senen, Jakarta Pusat, Selasa (10/10).
Hal itu kata dia menjadi warning untuk Kejagung, sebelum melaksanakan hukuman mati Kejagung harus mengecek semua proses kejanggalan yang terjadi. Jangan sampai terpidana dihukum mati sementara hak-haknya belum terpenuhi.Agen Bola Terpercaya
Apalagi untuk mengeksekusi satu terpidana, Kejagung bisa menghabiskan Rp 200 juta. “Itu untuk satu terpidana, bukan sekali kegiatan. Lebih baik dana sebesar itu digunakan untuk kepentingan lain,” ucapnya.
Putri juga mengungkapkan, Indonesia adalah salah satu negara yang masih memakai hukuman mati kepada pelaku kejahatan berat. Setiap tahunnya, hampir selalu ada narapidana yang dihukum mati dan ada juga pelaksanaan hukuman mati.
Dalam rangka memperingati Hari Anti Hukuman Mati Sedunia pada 10 Oktober ini, Putri memaparkan sejumlah kejanggalan dalam pelaksaan hukuman mati di Indonesia. Hal itu seharusnya dijadikan evaluasi agar ke depannya Indonesia bisa menghapuskan hukuman mati.
Dari catatan Kontras, ada sejumlah fakta kejanggalan. Hal itu dapat ditemui dalam eksekusi mati gelombang kedua.
“Di situ diketahui bahwa mereka (terpidana) ada yang mengalami proses penyiksaan. Kalau kita lihat Rodrigo Duarte dia terpidana mati yang sudah diketahui menderita skizofrenia dan bipolar, yang artinya sesuai dengan surat yang disampaikan dokter kejiwaan di Cilacap saat itu menyatakan bahwa Rodrigo tidak boleh dieksekusi mati,” paparnya.
Seharusnya kata dia, Rodrigo harus dibawa ke rumah sakit jiwa karena menderita penyakit kejiwaan. Lalu bila mengacu pada pasal 44 KUHP ada alasan pemaaf terkait dengan tidak dipidananya seseorang, salah satunya kalau kemudian diketahui bahwa terpidana mati atau siapapun itu mengalami gangguan-gangguan kejiwaan. “Tapi kejaksaan saat itu tetap mengeksekusi Rodrigo,” kata dia.Agen Poker Indonesia Terbesar
Lalu untuk terpidana mati Andrew Chan, di kasus itu diketahui bahwa hakimnya meminta uang kepada terpidana mati ini. “Tapi karena mereka tidak memberikan uang, akhirnya dia kemudian diberikan vonis hukuman mati dan dieksekusi mati,” sambungnya.
Kemudian yang paling parah menurut Kontras adalah terpidana mati gelombang tiga, karena ketika itu sudah jelas dari segi hukum acara pidana itu semuanya dilanggar.
“Soal 3x24 jam karena kalau melihat tata cara pelaksanaan eksekusi mati itu harus 72 jam informasi tapi ternyata sebelum 72 jam dia sudah dieksekusi. Kalau kita tahu misal Freddy Budiman saat itu tengah mengajukan grasi, dalam UU grasi disebutkan bahwa pengaju grasi tidak boleh dieksekusi sampai ada kekuatan hukum tetap,” paparnya.
(elf/JPC)
0 comments:
Posting Komentar