Belanda Depok Punya Cerita
Tidak seperti di Bogor yang masih banyak bangunan peninggalan era kolonialisme Belanda, Depok sebagaimana halnya Bekasi, hanya meninggalkan beberapa di antaranya yang “berceceran” di sana-sini.
Kini mungkin kita hanya tahu sejarah Depok ya tentang penyebutan “Belanda Depok”. Sedianya di sisi lain ada hal unik yang menyambungkan benang merah antara Depok dan Bekasi.
Tuan Tanah Cornelis Chastelein
Bahwa kedua wilayah ini pernah dimiliki oleh satu orang –Cornelis Chastelein. Pembaca tentu tahu dong kawasan Mester Cornelis?
Saat ini kawasannya menjadi area Jatinegara dan tahukah Anda bahwa dulu Jatinegara itu wilayahnya meliputi Bekasi, Cikarang, Matraman, hingga Kebayoran dan wilayah itu milik Chastelein? Ya, Mester Cornelis yang dimaksud itu tak lain dan tak bukan adalah Cornelis Chastelein.
Dia mantan pekerja yang kemudian jadi saudagar Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) alias Kongsi Datang Hindia Timur. Gara-gara sempat terlibat friksi dengan salah satu gubernur jenderal, figur “Huguenot” (Kristen Protestan yang taat) itu memilih resign alias keluar dari VOC.
Chastelein kemudian memilih fokus pada mengembangkan pertanian dan perkebunan. Maka dibelilah olehnya sejumlah lahan di Weltevreden (kini Gambir), kemudian Sringsing (kini Srengseng Sawah) hingga Depok, Mampang, hingga Karanganyar (kini Cinere).
Cara mengelolanya, Chastelein membeli 150 budak dari berbagai daerah di timur nusantara, seperti Bali, Bugis (Makassar), hingga Timor. Mereka inilah yang di kemudian hari menjadi kaum yang sekarang kita sebut “Belanda Depok”. Setidaknya itu yang penulis ketahui dari beberapa literatur.
Ini juga yang membentuk rasa penasaran penulis untuk menelusuri sendiri cerita di balik “Belanda Depok”. Dengan ditemani kawan penggiat sejarah Beny Rusmawan dan Hosea Aryo Bimo, langkah kaki pun terpandu menuju sebuah rumah tua di Jalan Pemuda, Kota Depok yang di depannya, terdapat papan nama Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC).
“Tahun 1969, dia baru merambah ke Depok setelah beli tanah di Gambir, Senen, Jatinegara. Di Depok, dia beli tanah sekira 1.244 hektare,” ungkap Ferdy Jonathans, koordinator Bidang Harta Milik YLCC, mengawali kisahnya kepada Okezone.
“Dia cari 150 budak dari Bali, Makassar, Timor, sekaligus menunjuk tujuh orang seperti mandor jabatannya. Sebelumnya dia kerjasama VOC setelah berangkat dari Belanda pada 1657, saat itu dia baru 17 tahun,” imbuhnya.
12 Marga “Belanda Depok”
Sebanyak 150 budak tersebut yang kemudian membentuk suatu “komunitas” tersendiri dengan menyandang 12 marga setelah Chastelein tiada. Sebut saja marga Bacas, Isakh, Jacob, Jonathans, Joseph, Laurens, Loen, Leanders, Samuel, Soedira, Tholense dan Zadokh –yang terakhir ini kini sudah disebutkan punah dan menyisakan 11 marga.
“Dulu sebagai Kristen yang taat, semua budak-budak itu mesti beribadah dan harus ke gereja di (Pasar) Senen. Istilahnya karena kasihan harus jauh-jauh dari Depok ke Senen, maka dibangunkan Gereja Djemaat Masehi (kini GPIB Jemaat Immanuel) itu pada 1714 sebelum Chastelein meninggal,” sambung Ferdy.
“Nah ketika Chastelein meninggal pada 28 Juni 1714, budak-budak ini bingung, walau pada wasiatnya Chastelein, semua tanahnya diberikan pada budak-budaknya. Marga-marga itu sendiri baru dibentuk setelah Chastelein meninggal oleh Pendeta Saprima Lucas, pendeta pertama di gereja,” tambahnya.
Sementara mengenai sebutan Belanda Depok, Ferdy menguraikan bahwa sedianya istilah itu merupakan ejekan belaka dari masyarakat pribumi lainnya.
“Itu (Belanda Depok) olok-olokan buat kami. Kalau dulu orang kerja naik kereta, orang Bogor kan sudah naik duluan dan ketika orang Depok naik, mulailah banyak omongan: ‘Belanda Depok tuh, Belanda Depok’,” tutur Ferdy lagi.
“Warna kulit kita sama dengan pribumi, tapi kita bahasanya Belanda campur Melayu dan karena kita juga dulu kerjanya sama orang Belanda. Makanya sampai sekarang disebutnya Belanda Depok, cap yang sudah lama dan enggak hilang,” lanjutnya.
Gedoran Depok
Orang-orang Belanda Depok juga dari dulu diketahui tak pernah terlibat dengan politik. Mereka sudah terbiasa hidup nyaman sebagai petani yang sayangnya tak lama setelah Indonesia merdeka, kehidupan mereka diguncang peristiwa “Gedoran Depok” pada Oktober 1945.
“Kalau cerita tentang Gedoran Depok, komunitas ini bingung. Kehidupan kami sejak 1914 sudah nyaman dengan bertani, enggak ngerti politik. Peristiwa gedoran itu sebenarnya kecemburuan sosial, ditunggangi masyarakat luar Depok yang cemburu, apalagi kita di sini berbahasa Belanda,” ujar Ferdy berkisah.
“Pada peristiwa 11 Oktober 1945 itu, habis semua rumah di sini dijarah. Ada yang disiksa, ada yang 13 keluarga dikumpulkan di gedung yang sekarang jadi Rumah Sakit Harapan. Hampir dibakar hidup-hidup kita sama pemuda kala itu, tapi keburu diselamatkan sekutu,” imbuhnya lagi.
Setelah diselamatkan sekutu, mereka diungsikan ke Bogor dan baru kembali ke Depok pada 1949. Tak ada lagi harta benda milik mereka yang ditemukan saat pulang ke rumah masing-masing.
Tanah-tanah yang mereka miliki terlikuidasi dan peninggalan Belanda Depok sekarang yang tinggal GPIB Immanuel, rumah pastori yang jadi kantor YLCC sekarang, plus beberapa rumah tua di sekitar Jalan Pemuda, jalan yang dulu namanya Kerkweg alias Jalan Gereja.
Oh iya tak ketinggalan, masih ada satu gedung yang dulunya bernama Gemeente Bestuur, eks gedung “Presiden” Depok yang di depannya berdiri tegak Monumen Peringatan Pembebasan Perbudakan.
Sementara budak-budak yang kemudian jadi warga “asli” Depok yang sudah tiada, dimakamkan di sebuah pemakaman khusus di Jalan Kamboja, sekira 100 meter di belakang Rumah Sakit Hermina. Di depannya juga terbentang sebuah lapangan yang dulu pernah dijadikan tempat orang-orang Belanda Depok bermain sepakbola.
ebelum menutup “Belanda Depok Punya Cerita”, penulis juga ingin mengonfirmasi satu hal pada Ferdy Jonathans. Tentang asal kata “Depok” itu sendiri yang sebelumnya muncul beberapa versi penjelasan.
“Asal nama Depok itu dari kata Padepokan. Dulu oleh (Kerajaan) Pajajaran, daerah ini jadi tempat mereka bertapa sebelum menyerang ke Jayakarta. Orang dulu kan kalau bertapa bikin tempat namanya Padepokan, seperti di daerah-daerah di Jawa. Jadi bukan asal kata dari singkatan-singkatan. Itu salah dan sudah saya bantah,” tandasnya.
0 comments:
Posting Komentar